DILEMA KEKUATAN DAN KEKUASAAN
Dilema adalah argumentasi yang bentuknya merupakan campuran antara Silogisme Hipotetik dan Silogisme Disjunktif. Dilema terjadi karena premis mayornya terdiri dari dua proposisi hipotetik dan premis minornya satu proposisi disjunktif. Sehingga konklusi yang diperoleh bisa berupa proposisi disjunktif, dan bisa proposisi kategorik.
Dalam dilemma, terkandung konsekuesi yang kedua kemungkinannya sama berat, sehingga konklusi yang diambil selalu tidak menyenagkan. Dalam debat, dilema di gunakan sebagai alat pemojok, sehingga alternative apapun yang dipilih, lawan bicara kita selalu dalam situasi yang tidak menyenangkan. ( Penjelasan lebih luas tentang dilema lihat Irving M. Copi, op,cit.: 255-262 dan I.R. Poedjawijantha, Logika. Filsafat Berpikir,
Kekuatan
Kekuatan (Force), adalah penggunaan tekanan nonfisik guna bertindak sesuai dengan kehendak yang memerintah, seperti rasa takut ataupun membatasi pemenuhan kebutuhan biologis (makan dan minum) terhadap pihak lain. Hubungan kekuasaan yang muncul antar pelaku didasari atas kekuatan yang dimiliki oleh pelaku untuk mempengaruhi atau mengendalikan pelaku lain. Kekuatan yang dimaksud disini adalah kemampuan atau daya dari pelaku untuk melakukan tindakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkannya. Dengan kemampuan yang dimilikinya, maka seorang pelaku dapat mempengaruhi atau mengendalikan pelaku lain sehingga pelaku lain memiliki keterbatasan dalam bertindak berdasarkan tujuan yang telah ditetapkannya. Kemampuan untuk mengendalikan dan mempengaruhi pelaku sehingga ikut terlibat dalam tindakan yang diarahkan oleh pelaku dikonseptualisasikan juga sebagai kekuasaan. Dalam konteks tersebut, hubungan kekuasaan adalah suatu produk dari hubungan-hubungan kekuatan yang muncul dari pelaku, meliputi pelaku yang menguasai dan pelaku yang dikuasai.
KEKUASAAN
Pertanyaan-pertanyaan pokok:
Apa yang dimaksud dengan kekuasaan atau pengaruh? Apa maknanya kalau disebut si A berpengaruh kuat atau berkuasa?
Mengapa ia bisa berkuasa? Faktor-2 apa yg mendukungnya sehingga memperoleh kekuasaan?
Bagaimana kita mengetahui bahwa ia berkuasa? Bagaimana mengukur kekuasaan?
Bagaimana menggambarkan distribusi kekuasaan?
Mengapa ada ketimpangan dalam distribusi kekuasaan? Mengapa ada yg memiliki kekuasaan jauh lebih besar dari yg lain?
Apa yg dimaksud dengan keabsahan atau legitimasi? Mengapa legitimasi diperlukan?
Dari mana datangnya legitimasi? Bagaimana cara memperoleh legitimasi?
Kekuasaan dan Pengaruh disetarakan untuk pengertian berkuasa dan berpengaruh.
Biasanya kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi pikiran dan tingkah laku orang atau kelompok lain, sehingga orang yang dipengaruhi itu mau melakukan sesuatu yang sebetulnya orang itu enggan melakukannya.
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan (Miriam Budiardjo 1984 :35).
Adakalanya, kekuasaan berkaitan dengan pengaruh sehingga disebut sebagai hubungan pengaruh mempengaruhi. Kalau kekuasaan mensyaratkan adanya “keterpaksaan”, sedangkan pengaruh (influence), menurut Miriam Budiardjo, merupakan bentuk lunak dari kekuasaan.
Namun begitu, belum tentu dua orang yg memiliki bidang kuasa yang sama, akan memiliki bidang pengaruh yg sama pula. Sebab pengaruh itu berkaitan dengan “kepribadian” seseorang. Begitu pula, pengaruh tidak selalu berkaitan dengan kekuasaan, sebab ada org yg tidak mempunyai kekuasaan (kedudukan formal) tetapi mempunyai pengaruh.
Jadi kekuasaan merupakan hasil dari suatu hubungan, antara seorang atau sekelompok orang yang satu terhadap yg lainnya.
Robert D. Putnam, menambahkan bahwa kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi proses pembuatan keputusan kolektif.
Dalam studi politik, lebih penting mengkaji kekuasaan dan pengaruh seseorang atas kebijakan pemerintah, bukan atas perilaku orang lain semata.
Mengapa si A mampu mempengaruhi si B? Pasti ada sesuatu yg dimiliki oleh si A sehingga mampu mempengaruhi perilaku si B. Misalnya: uang, makanan, kekuatan fisik, informasi penting, senjata, persahabatan, dukungan suara dalam pemilu, kedudukan dalam masyarakat, hak membuat peraturan, ilmu, dsb.
“Sesuatu” yang dimiliki si A itulah yg disebut dengan SUMBER DAYA POLITIK.
Jadi si A mampu mempengaruhi si B, karena si A mempunyai sumberdaya politik yang tidak dipunyai oleh si B.
Distribusi SUMBERDAYA POLITIK dalam masyarakat tidaklah merata, karena itu ada orang yang mampu mempengaruhi dan berkuasa, dan orang yg harus puas untuk selalu dikuasai.
Jadi kita bisa melihat luas sempitnya kekuasaan yang dimiliki dalam masyarakat tergantung kepada seberapa BANYAK (Kuantitas) Sumberdaya politik yang dimiliki dan luas wilayah kekuasaanya.
Wilayah Pengaruh dan Bidang Pengaruh
Wilayah pengaruh aktor politik A terdiri dari wilayah pengaruh dari aktor-2 lain yang dipengaruhi atau dikuasai oleh si A.
Bidang pengaruh aktor politik A adalah bidang kegiatan di mana si A mempengaruhi aktor-2 lain itu.
Dalam ilmu politik, pengaruh dan kekuasaan bisa diukur dengan melihat Wilayah Pengaruh dan Bidang Pengaruh yang dikuasai oleh si aktor.
Misalnya seorang ulama punya bidang pengaruh dalam soal keagamaan saja, sedangkan bidang ekonomi tidak.
Kadang dijumpai aktor yang berpengaruh dalam bidang pendidikan, agama, ekonomi, dan kebudayaan sekaligus. Jadi wilayah pengaruhnya adalah lebih luas.
Konsep-Konsep yang Berkaitan
dengan Kekuasaan
Influence (pengaruh), kemampuan untuk memengaruhi orang lain agar orang tersebut mau mengubah sikap dan perilakunya secara sukarela.
Force, penggunaan tekanan nonfisik guna bertindak sesuai dengan kehendak yang memerintah, seperti rasa takut ataupun membatasi pemenuhan kebutuhan biologis (makan dan minum) terhadap pihak lain.
Persuasion (persuasi), yaitu kekuasaan yang bersinggungan dengan kemampuan pemberi-perintah dalam meyakinkan orang lain dengan argumentasi logis-rasional untuk melakukan sesuatu.
Manipulation (manipulasi), penggunaan pengaruh, di mana orang yang dipengaruhi tidak menyadari bahwa tingkah lakunya sebenarnya sedang mematuhi keinginan pemegang kekuasaan.
Coercion/coercive, peragaan kekuasaan atau ancaman paksaan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok (biasanya menyertakan tindakan fisik/kekerasan)terhadap pihak lain agar bersikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak pihak pemilik kekuasaan, termasuk sikap dan perilaku yang bertentangan dengan kehendak yang dipengaruhi.
Authority (kewenangan), atau dalam bahasa Max Weber sebagai otoritas legal-formal, di mana seseorang memiliki kekuasaan oleh karena legalitas yang melekat dalam dirinya
Mengapa distribusi pengaruh selalu tidak merata? Menurut Robert A. Dahl ada 3 faktor:
Perbedaan dalam distribusi sumber-2 daya politik; yaitu sarana yg bisa dipakai aktor politik untuk mempengaruhi aktor lain, misalnya kekuatan fisik, harta kekayaan, kepandaian, status sosial, dlsb.
Perbedaan dalam kecakapan dan efisiensi seseorang dalam memanfaatkan sumber-2 daya politiknya; karena ada perbedaan bakat, kesempatan, dan motivasi utk menggunakan kecakapan politik.
Perbedaan dalam banyaknya sumberdaya politik yang dipakai seseorang untuk mencapai tujuan-2 politiknya. Misalnya si A gunakan kekayaanya utk menjadi Kepala Daerah, sedangkan si B untuk meraih sukses jadi PNS, dan si C utk meraih sukses dalam bidang bisnis.
Gambaran hubungan sebab akibat:
Bagaimana mengetahui secara empirik “siapa yang berkuasa/berpengaruh”?
Ada 3 pendekatan yang bisa digunakan:
Pendekatan posisional; misalnya siapa yang menduduki posisi kekuasaan atau jabatan resmi di daerah tersebut? Jadi orang yang punya jabatan resmi di pemerintahan dianggap punya pengaruh dan kekuasaan.
Pendekatan reputasional; dengan wawancara snowball untuk mengetahui siapa diantara mereka yang paling berpengaruh. Jadi reputasinya di tengah masyarakat hanya masyarakat yang menilai bahwa ia berpengaruh.
Pendekatan pembuatan keputusan; dengan pertanyaan “siapa yang sebenarnya membuat keputusan dalam masyarakat?” siapa yang berpengaruh terhadap keputusan tsb? Dsb.
KEABSAHAN DAN LEGITIMASI
Aktifitas politik berkaitan dengan usaha mempengaruhi orang atau kelompok lain, maka aktor politik berkepentingan untuk melanggengkan atau mempertahankan pengaruh dan kekuasaannya.
Apa yg bisa dilakukan untuk melanggengkan atau mempertahankan kekuasaan itu?
Bagaimana mempertahankan kemampuan untuk mengendalikan dan memobilisasi rakyat agar tetap mau menjalankan perintahnya?
Ada 3 kategori SDP
SDP paksaan, menimbulkan kemampuan aktor politik untuk membuat orang lain tunduk pada kemauannya melalui ancaman penggunaan paksaan.
SDP ekonomis, menimbulkan kemampuan untuk memanipulasi perilaku orang lain melalui pemberian atau penolakan untuk memberi ganjaran materiil.
SDP simbolik, menimbulkan kemampuan untuk mempengaruhi org lain agar mengidentifikasi diri dengan, dan atau mematuhi tertib masyarakat yg berlaku secara sukarela.
Penggunaan SDP paksaan dan SDP ekonomis punya kelemahan, selain biayanya mahal juga ketaatan yang diperoleh tidak langgeng.
Bagaimana membuat rakyat mau melaksanakan perintah dengan penerapan paksaan dan ganjaran materiil yang sekecil mungkin?
Secara akal sehat, warga negara akan mematuhi pemerintahnya bila warga menganggap bahwa pemerintahnya itu memang berhak untuk memerintah mereka.
Pengakuan warga atas penggunaan kekuasaan inilah yang disebut legitimasi atau keabsahan.
Kekuasaan yang mendapat keabsahan itulah yang disebut kewenangan (authority).
Keabsahan dan Nilai Sosial
Pemerintah atau lembaga politik dianggap absah apabila mayoritas warga masyarakat menganggap keberadaannya memang “patut dan baik”, untuk itu warga bersedia memelihara dan mempertahankannya.
“Patut” dan “Baik” adalah salah satu nilai-nilai sosial yang hendak diraih. Karena itu ia merupakan tujuan bersama warga yang ingin dikejar dan dicapai.
Jadi absah tidaknya suatu lembaga politik adalah tergantung pada apakah lembaga itu bersesuaian dengan nilai-nilai yg dianut mayoritas warga masyarakat atau tidak.
Genesis kekuasaan, atau dalam terminologi lain: “jenis-jenis kekuasaan (types of power)” (Robbins-1991), atau “basis-basis kekuasaan sosial (the bases of social power)” (French-1960), pada hakekatnya teridentifikasi dari lima hal: legitimate power, coercive power, reward power, expert power, dan referent power.
Legitimate Power (kekuasaan sah), yakni kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin sebagai hasil dari posisinya dalam suatu organisasi atau lembaga. Kekuasaan yang memberi otoritas atau wewenang (authority) kepada seorang pemimpin untuk memberi perintah, yang harus didengar dan dipatuhi oleh anak buahnya. Bisa berupa kekuasaan seorang jenderal terhadap para prajuritnya, seorang kepala sekolah terhadap guru-guru yang dipimpinnya, ataupun seorang pemimpin perusahaan terhadap karyawannya.
Coercive Power (kekuasaan paksa), yakni kekuasaan yang didasari karena kemampuan seorang pemimpin untuk memberi hukuman dan melakukan pengendalian. Yang dipimpin juga menyadari bahwa apabila dia tidak mematuhinya, akan ada efek negatif yang bisa timbul. Pemimpin yang bijak adalah yang bisa menggunakan kekuasaan ini dalam konotasi pendidikan dan arahan yang positif kepada anak buah. Bukan hanya karena rasa senang-tidak senang, ataupun faktor-faktor subyektif lainnya.
Reward Power (kekuasaan penghargaan), adalah kekuasaan untuk memberi keuntungan positif atau penghargaan kepada yang dipimpin. Tentu hal ini bisa terlaksana dalam konteks bahwa sang pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahannya. Penghargaan bisa berupa pemberian hak otonomi atas suatu wilayah yang berprestasi, promosi jabatan, uang, pekerjaan yang lebih menantang, dsb.
Expert Power (kekuasaan kepakaran), yakni kekuasaan yang berdasarkan karena kepakaran dan kemampuan seseorang dalam suatu bidang tertentu, sehingga menyebabkan sang bawahan patuh karena percaya bahwa pemimpin mempunyai pengalaman, pengetahuan dan kemahiran konseptual dan teknikal. Kekuasaan ini akan terus berjalan dalam kerangka sang pengikut memerlukan kepakarannya, dan akan hilang apabila sudah tidak memerlukannya. Kekuasaan kepakaran bisa terus eksis apabila ditunjang oleh referent power atau legitimate power.
Referent Power (kekuasaan rujukan) adalah kekuasaan yang timbul karena karisma, karakteristik individu, keteladanan atau kepribadian yang menarik. Logika sederhana dari jenis kekuasaan ini adalah, apabila saya mengagumi dan memuja anda, maka anda dapat berkuasa atas saya.
KESIMPUAN :
Hubungan KEKUATAN dan KEKUASAAN adalah ibarat gula dengan manisnya, ibarat garam dengan asinnya. Dua-duanya tak terpisahkan. KEKUASAAN yang efektif (effective power) terealisasi pada saat seorang pemimpin dengan kekuasaannya menggunakan kekuatanya yang mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Dilemma antara kekuatan dan kekuasaan adalah bahwa dalam hubungan bermasyarakat ada yang di sebut dengan kekuasaan, kekuasaan itu tidak terlepas dari pengaruh. Luas sempitnya kekuasaan tergantung pada “sesuatu” yang di miliki. Sesuatu disini adalah Sumber Daya Politik yang di miliki seperti Misalnya: uang, makanan, kekuatan fisik, informasi penting, senjata, persahabatan, dukungan suara dalam pemilu, kedudukan dalam masyarakat, hak membuat peraturan, ilmu, dsb dan wilayah kekuasaanya. Jadi menurut saya, kekuasaan itu sangat berhungan dekat dengan kekuatan dan dalam kekusaan sudah pasti ada kekuatan tetapi dalam kekuatan belum tentu ada kekuasan.
Sumber : kekuasaan, pengaruh dan legitimasi, By, Dwi WahyunHabdayani, S.Ip, M.Si